Jika cobaan kita sepanjang suangai.........maka kesabaran kita harus seluas samudra, jika pengurbanan kita seluas bumi....., keikhlasan kita harus seluas angkasa membentang

Jumat, 07 September 2012

PENDEKATAN HUMANISTIK DALAM PEMBELAJARAN

Psikologi Pendidikan mempunyai dua stream utama; yang pertama memfokuskan pada peranan pendidikan dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa (Disebut Direct Instruction), dan yang kedua memfokuskan pada keluaran afektif, yaitu belajar tentang bagaimana belajar, dan meningkatkan kreativitas serta potensi manusia (Gerakan Humanistic Education), yang dominan di Amerika mulai awal tahun 1970-an. Gerakan pendidikan humanistik merupakan penerus gerakan pendidikan progresifnya John Dewey tahun 1920-1930-an, yang merupakan gerakan reaksi terhadap penggunaan drill & rote learning berlebihan dari sekolah tradisional. Hal penting pada pendidikan humanistik adalah siswa harus mempunyai substantial hand dalam mengarahkan diri mereka, memilih apa yang akan dipelajari, sampai tahaf mana ia akan belajar, kapan dan bagaimana ia akan belajar. Gagasan tersebut dimaksudkan agar siswa memiliki self directed, self-motivated, dan bukan sebagai penerima pasif informasi. Pendidikan humanistik menyentuh tujuan afektif sebanyak tujuan kognitif. Untuk mencapai tujuan afektif misalnya, Glasser & Lefkowitz (dalam Slavin, 1991) menyelenggarakan class meeting untuk mendiskusikan problem-problem interpersonal, nilai-nilai seperti tenggang rasa, kerjasama, kejujuran, saling menghormati, dsb. Pendidikan humanistik menolak kenaikan kelas, menolak memberi nilai pada tes-tes standar, melainkan dengan evaluasi tertulis terhadap pemecahan masalah nyata, atau melakukan kegiatan eksperimen. Prinsip lain pendidikan humanistik adalah bahwa pendidikan harus mengajar siswa bagaimana belajar, mengevaluasi belajar dan hasil belajar untuk kepentingan siswa sendiri. Oleh karena itu pendidikan humanistik seringkali memakai aktivitas opened-ended dimana siswa harus memperoleh informasi, membuat keputusan, memecahkan problem, dan mencipta produk sendiri. Misalnya guru sejarah sebelum mengajar sejarah Mesir kuno, ia minta siswanya mengunjungi musium lokal untuk melihat benda-benda hasil karya orang Mesir, tanpa bimbingan atau informasi apapun dari guru. Para siswa diminta menuliskan impresi mereka dalam jurnal, dan membuat hipotesis tentang arti dan makna karya tersebut. Kemudian mereka kembali ke kelas dan mempelajari sejarah Mesir selama dua minggu, belajar sistem penomeran orang Mesir, belajar geografi Mesir, dan membandingkan Mesir kuno dan Mesir modern. Pada akhir aktivitas siswa dibawa lagi ke musium untuk membandingkan hipotesis-hipotesis mereka dengan apa yang ia ketahui sekarang tentang Mesir. Tujuan yang dicapai ada dua: (1) pemahaman sejarah Mesir, (2) memberi pengalaman pada siswa meneliti sesuatu untuk dirinya sendiri, pengalaman menggunakan fikiran dan imaginasinya untuk belajar, memberi pengalaman betapa kayanya dunia dengan informasi—yang hanya dapat dimengerti apabila kita mengetahui bagaimana kita mendapatkan informasi tersebut, dan memberikan pengalaman bahwa belajar itu menyenangkan. Program pengajaran yang paling dekat dengan humanistic education pada awal tahun 1970-an adalah open-school atau open classroom. Open school menggunakan learning stations (lingkungan belajar) yang berisi proyek-proyek tugas/kerja, buku kerja dengan unit-unit belajar yang terindividual. Peranan pendidik adalah melaksanakan segala sesuatu untuk membantu individu membangun jati diri dan konsep dirinya. Siswa dilibatkan dalam proses belajar dengan diberi pengalaman-pengalaman sukses, diakui, diterima, dan dihargai. Di sini pendidik memperlakukan siswa sebagai manusia dengan segala kebutuhannya. Pendekatan humanistik menguraikan bahwa motivasi adalah daya internal yang menyebabkan manusia tumbuh, berkembang, dan merealisasi potensi-potensinya. Tidak ada istilah siswa tidak memiliki motivasi, karena setiap orang memiliki “prinsip berkembang” dari dalam dirinya, yang memberi energi dan mengarahkan perilaku (Combs & Avila, dalam Eggen & Kauchak, 1997). Menurut pandangan humanistik, motivasi siswa bergantung pada bagaimana pandangan siswa mengenai dirinya sendiri sebagai manusia dan bagimana ia melihat kontribusi sekolah bagi perkembangannya. Jika sekolah atau kelas dan pelajaran bersifat personal dan penuh arti, maka siswa termotivasi untuk belajar, jika tidak maka siswa tidak termotivasi. Pengajaran yang baik adalah “suatu proses yang mengundang siswa untuk melihat dirinya sebagai orang yang mampu, bernilai, dan mengarahkan diri sendiri, dan mendorong mereka untuk berbuat sesuai dengan persepsi dirinya tersebut” (Purkey & Novak, dalam Eggen & Kauchak, 1997). Kemampuan siswa untuk menjawab pertanyaan seperti “Mengapa kita harus mempelajari bahan ini?” dan “membantu siswa untuk melihat hubungan antara apa yang sedang mereka pelajari dengan perkembangan personal mereka” merupakan faktor kritis bagi motivasi dan belajar. Psikologi humanistik tidak hanya menekankan pada faktor lingkungan (teori behavioral) saja, atau instink internal (teori psikoanalisis) saja, tetapi menekankan secara imbang antara faktor fisik, intelektual, emosional, dan interpersonal, serta interaksi antara semua faktor, yang mempengaruhi belajar dan motivasi belajar. Psikologi humanistik memfokuskan pada persepsi, respon terhadap kebutuhan internal individu, dan dorongan aktualisasi diri, atau menjadi apapun yang ia inginkan (Maslow, dalam Eggen & Kauchak, 1997). Iklim atau suasana kelas merupakan perkembangan dari hubungan antara guru dan siswa secara kolektif. Kelas dengan pendekatan humanistik merupakan lingkungan yang safe dimana siswa percaya bahwa mereka dapat belajar dan berharap melakukannya dengan iklim yang seperti itu. Dua unsur proses belajar-mengajar yang esensial bagi psikolog humanistik: (1) hubungan antara guru dan siswa, serta (2) iklim atau suasana kelas (Hamachek, dalam Eggen & Kauchak, 1997). Guru yang penuh perhatian (care) dan bersifat mendukung (supportive), mempercayai setiap siswa sebagai seorang individu, dan mempertimbangkan perkembangan personal dan keadaan emosional dalam semua perlakuan pembelajaran yang mereka lakukan, merupakan sikap yang harus dimiliki guru dalam pendekatan humanistik. Sumbangan psikologi humanistik misalnya: memberi pengalaman sukses kepada siswa; mengakui, menghargai dan menerima siswa apa adanya, jangan membodoh-bodohkan siswa, terbuka menerima pendapat dan pandangan siswa tanpa menilai atau mencela, terbuka untuk komunikasi dengan siswa, dan tidak hanya menghargai potensi akademik. Untuk aktivitas-aktivitas kreatif, guru jangan banyak memberikan aturan, memberi keamanan psikologis, menceritakan pengalaman, menulis cerita, menghargai usaha, imaginasi, fantasi dan inovasi siswa, sediakan banyak buku bacaan, aktivitas brainstorming. Di sadur dr Psikologi Pendidikan by R.E. Slavin

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review